Kamis, 24 Mei 2012

MY CERPEN 1 (SPONTAN)






FIRST LOVE AND TEARS


Aku memandangi sosoknya di kejauhan. Tak sengaja bibirku tersenyum melihatnya. Riko, nama cowok itu. Dia ketua kelas di kelasku, kelas 2 E. Mungkin semua bilang aku aneh, kalau cinta kenapa tak diungkapkan? Mau sampai kapan terus memendam perasaan itu? Aku cuma tersenyum menanggapinya.

           “Apa sih istimewanya sosok Riko, De?” tanya Sisca, sahabat baikku. Aku memandangnya dan tersenyum.

           “Entahlah… aku juga nggak tau. Menurutku dia itu unik, lucu, baik lagi,” kataku sambil memandang sosok Riko di kejauhan. Sisca berdehem menggodaku.

           “Cieee … yang lagi jatuh cinta. Tapi emang si Riko itu lumayan keren, sayangnya dia bukan tipeku, hahaha …” Sisca tertawa. Aku cuma tersenyum.

           “Untunglah Sisca tipenya beda sama aku, kalau sampai sama, aku pasti kalah deh … hufftt,” gumamku dalam hati.

        Riko, dia cowok yang sempurna banget, cakep, tinggi, pintar di segala bidang pelajaran, humoris, ramah lagi. Siapa sih cewek yang nggak menyukainya? Bisa dibilang, dia cinta pertamaku. Aku sendiri heran kenapa aku bisa jatuh cinta sama dia. Padahal dulu aku benci banget sama Riko.

         Tapi semakin lama aku sering memperhatikannya. Gerak-geriknya, suaranya, bahkan gayanya, aku sudah hafal di luar kepala. Satu hal yang paling aku kagumi dari dia adalah nggak sombong, padahal dia dari keluarga kaya.



                                                                        *****



             “Gila … Rik, kenapa sih kamu nggak bawa motor atau mobil gitu? Lumayan, kita bisa numpang.” Terry mengedip genit ke arah Riko.

         Riko hanya tersenyum. Dia meletakkan bukunya di atas meja dan memandang Terry dan Nisa.

             “Tapi itu bukan punyaku. Mobil atau motor itu punya orang tuaku.” Riko menjawab kalem.

             “Kamu itu terlalu sederhana, Rik, padahal kamu anak orang kaya gitu.” Nisa menggelengkan kepalanya tak mengerti.

             “Apa gunanya aku pamer kalau itu bukan milikku sendiri? Hey, kita ini masih SMP lho, nggak usah gaya-gaya gitu.” Riko tersenyum.

         Terry dan Nisa langsung terdiam. Mereka nggak bisa membantah perkataan Riko lagi. Aku yang duduk di kursi pojok depan, tersenyum senang mrndengar komentar Riko. Wajahku jadi merona merah saat aku menatap Riko diam-diam.

           “Karena itulah aku jatuh cinta sama kamu, Riko, di mataku, kamu itu cowok idaman aku banget. Ah … sayangnya aku nggak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaanku ke kamu. I love you, Rik.”

        Aku tertunduk sedih, dan perlahan airmataku mengalir begitu saja di pipiku. Aku menghapusnya dan kembali focus dengan buku yang aku baca.




                                                                         *****


        Siang yang terik, membuatku malas untuk jalan kaki ke rumah. Rumahku cukup jauh dari sekolah. Benar-benar menyebalkan. Aku nggak punya kendaraan semacam sepeda mini untuk aku kendarai. Berkali-kali peluh keringat aku hapus dari keningku. Debu jalanan sering membuatku terbatuk. Buru-buru aku mencari jalan yang tak terkena debu. Maklum, aku punya penyakit asma. Kalau sudah kambuh, sering membuatku kesakitan sampai mau mati rasanya.

          “Dea, kamu nggak dijemput?” sapa seseorang di belakangku. Aku menoleh, dan tersentak kaget melihat siapa yang menyapaku. Riko! Aku jadi gugup.

          “Ah, iya … mereka ada urusan mendadak, jadi aku pulang sendiri hari ini,” kataku gugup. Riko mengangguk-angguk mengerti. Dia tersenyum, manis sekali. Aku sampai bengong karena terlalu terpesona. Sumpah! Cowok ini keren banget.

          “Kebetulan arah rumah kita searah, kan? Gimana kalau kamu bareng aku aja?” tawarnya ringan.

        Degg! Jantungku langsung berhenti berdetak. Apa ini nggak Salah? Riko mengajakku pulang bareng? Tuhan … aku bisa pingsan nih ...
         “Gimana, De?” tanya Riko sekali lagi. Aku mengangguk pelan sekali, seolah ragu.

        Riko tersenyum, dia menyuruhku naik sepeda mini-nya. Aku naik di boncengan belakang dengan jantung yang terus berdetak kencang.



                                                                          *****



         “Kamu … nggak mau masuk dulu?” tanyaku ragu. Riko menggeleng, dia tersenyum.

        “Nggak usah, makasih, aku lagi buru-buru nih …”

        “Hmm, terima kasih ya udah dianterin,” kataku dengan wajah malu. Riko mengangguk.

        “Sama-sama, aku pulang dulu ya …” pamitnya. Dia mengendarai sepeda mini dengan gerakan buru-buru. Aku tersenyum memandang punggungnya yang semakin menjauh.

       “Tuhan, apa ini hari keberuntunganku? Terima kasih, Tuhan …” aku tersenyum dan menuju kamarku.

       Aku duduk di meja rias sambil memandangi sosok diriku di dalam cermin. Senyum tak pernah lepas dari bibir mungilku. Aku mengambil sebuah buku, lebih tepatnya Buku Diary. Kubuka halaman yang kosong, dengan cepat aku meraih bolpoint dan segera kutuliskan sebuah kata-kata.



                      Dear my lovely,

                   Cinta tak akan berpaling dari kelopak mataku

                   Embun suci yang kau torehkan dalam hati yang remaja membuatku terpaut

                   Wahai siang, aku ungkapkan rasa ini padamu

                  Debu dan keringat berpeluh yang menjadi kisahku

                    Apa ini?

                    Hatiku terasa sakit oleh debaran manisnya

                   Duhai cinta, kau membuatku tersihir dan menjadi gila

                   Ingin kuraih hatimu, tapi aku tak mampu

                  Hati… hanya kau-lah yang tahu tentang ini



       Aku tersenyum membaca barisan puisi yang kutulis. Dalam bayanganku kembali terlintas kembali kejadian tadi. Tuhan, senang sekali hatiku.



                                                                    *****



      Hari ini aku berangkat sekolah lebih awal. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Riko. Tapi sesampainya di sekolah, aku melihat semua teman-teman sekolahku banjir airmata. Ada apa ini? Aku bingung dan menghampiri kerumunan itu.

     Terry dan Nisa terisak di depan kelas. Aku menghampirinya dan kutepuk pelan bahu Terry. Mereka menoleh ke arahku dengan masih terisak.

        “Ada apa ini?” tanyaku. Mereka kembali menangis keras. Aku termenung, bingung dengan ini semua.

     Sisca menghampiriku dengan mata sembab. Dia menepuk bahuku, dan memelukku dengan erat. Aku memeluk Sisca dengan bingung.

        “Sis, ada apa sih ini?” tanyaku.

        “Kamu pasti nggak percaya dengar kabar ini, De …” Sisca terisak sebentar.

        “Ada apa, Sis?” tanyaku penasaran.

     Sisca melepaskan pelukannya dan memandangku dengan tatapan sendu.

        “Riko, De … Riko ...!” teriaknya histeris. Aku bertambah bingung dan gelisah. Ada apa dengan Riko? Apa yang terjadi padanya? Aku menatap tajam mata Sisca.

        “Ada apa dengan Riko, Sis … jawab!” teriakku kalut sambil mengguncang-guncangkan bahu Sisca tak sabar.

        “Riko … dia … dia mengalami kecelakaan kemarin siang, De, langsung meninggal di tempat.” Sisca kembali terisak.

      Aku tercekat tak percaya, badanku mundur ke belakang karena syok. Perlahan airmataku turun membasahi pipiku. Airmata duka untuk seorang cowok yang menetap di hatiku, menghiasi mimpi-mimpiku dan selalu menjadi pujaanku dalam diam.

        “Tuhan … Riko!” aku berteriak histeris dan jatuh pingsan.



                                                                      *****



      Saat aku membuka mataku, kulihat Sisca yang masih terlihat murung. Aku mencoba bangun walau kepalaku terasa pening yang amat sangat.

        “De, kamu udah sadar?” tanya Sisca. Aku mengangguk lemah, mataku masih sembab. Wajahku tertunduk.

        “Padahal kemarin aku masih bersamanya, Sis … aku masih melihat senyumnya. Aku masih mendengar suaranya, aku masih …” aku tak kuasa menahan airmata yang mulai menyembul keluar. Sisca memelukku dan membelai rambutku.

        “Kita semua juga nggak nyangka seperti ini, De, kematian itu di tangan Tuhan. Kita nggak akan tau kapan maut menjemput kita, sabar ya …”



                                                                           ******



        Siang itu dilakukan pemakaman untuk Riko. Aku berdiri di samping tanah merah itu. Mataku terasa panas dan kepalaku terasa pening. Aku menyesal sampai akhir-pun aku belum sanggup menyatakan perasaanku ke Riko. Sekarang cintaku akan kemana? Apa harus kukubur juga?

        Satu-persatu mereka meninggalkan makam ini. Tapi aku masih tetap di sini. Memandangi nisan Riko dengan perasaan sedih. Aku berlutut dan menyentuh nisan Riko.

         “Rik, andai kamu tau perasaanku ke kamu, apa sekarang kamu masih ada di dunia ini? Riko, aku sayang kamu. Aku cinta banget sama kamu …” aku menangis terisak. Aku nggak rela melepaskan Riko yang sudah meninggal.

       Aku merasakan sebuah tepukan lembut di bahuku. Aku menoleh dengan mata sembab. Ternyata Mama Riko. Beliau tersenyum memandangku. Aku berdiri dan menatap Mama Riko dengan bingung.

        “Ada titipan dari Riko buat kamu, Dea,” kata Mama Riko. Dia mengulurkan sebuah surat dan setangkai mawar merah.

       “Apa ini, Tante?” tanyaku bingung.

       “Bacalah surat itu, kamu akan mengerti. Tante pergi dulu ya …” Mama Riko meninggalkanku sendiri.

     Karena penasaran aku buka surat itu dan segera kubaca.



                Dear Dea,

           Apa kau tau arti mata indahmu itu? Apa kau tau matamu itu-lah yang membuatku jatuh cint? Mungkin kamu nggak percaya, tapi inilah yang kurasakan. Setiap hari dengan memandangmu, itu memberi semangat tersendiri bagiku. Kalau aku tak melihatmu sehari aja, mungkin hari itu kulewati dengan tubuh yang lemas tanpa energi. Kamu adalah matahari bagiku. Dea, i love you …



      Aku tercekat tak percaya. Kupandangi nisan Riko dengan tatapan nanar. Tangisku mulai pecah saat itu. Aku mencium sekuntum mawar merah pemberian Riko. Mawar merah terakhir yang penuh cinta.



                                                             TAMAT

1 komentar:

  1. kurang greget, kasusnya kurang seru, klimaks naik g ada, klo di tambah adegan berantem pasti lebih seru hihihi

    BalasHapus