Kamis, 24 Mei 2012

MY CERPEN 3 (SPONTAN)



ALWAYS IN MY HEART


Reisya menatap keluar jendela. Matanya seolah terpaku pada sosok seorang laki-laki  yang  lewat depan rumahnya. Entah kenapa dia mulai merasakan deja-vu. Sepertinya dia mengenal laki-laki itu, tapi dimana. Sialnya dia tak ingat sama sekali, hatinya terus berucap kalau wajah itu tak asing lagi. Laki-laki misterius yang hanya bisa ditatapnya dari jendela kamarnya.

Angin sepoi-sepoi mempermainkan anak rambutnya. Berkali-kali rambutnya menampar-nampar pipinya, tapi tak dipedulikannya. Pandangannya hanya tertuju pada satu titik. Laki-laki itu. Samar-samar ingatannya tentang laki-laki itu mulai kembali. Dia ingat wajah itu, wajah yang selalu tersimpan dalam hatinya sampai saat ini. Dia merutuk dirinya sendiri, kenapa bisa melupakan wajah orang yang dicintainya. Ini semua karena kanker otak yang dideritanya. Semua ingatannya selalu kabur dan tak menentu.

 “Kenapa tidak kau sapa dia? Keluarlah.Dan ajaklah mengobrol,” ucap sosok di sampingnya. Rheisya tersentak kaget, ternyata Amora, peri kecil yang selalu menemaninya.

 Reisya menghela nafas. Andaikan dia memiliki keberanian untuk menyapanya. Sekedar untuk mengenalnya lebih dekat, tentu dia tak akan terbebani seperti ini. Amora ikut merasakan kesedihan gadis di sampingnya itu. Ingin sekali dia membantu Reisya, tapi apa daya tanpa kekuatannya. Ratu peri telah menghukumnya, sehingga dia tak bisa lagi memakai kekuatannya lagi. Amora tak berdaya, di saat seperti ini dia merasa tak berguna. Dia sangat menyesal karena tak bisa membantu apapun.

 Amora sangat menyayangi Reisya, seorang gadis yang lembut dan baik. Tapi sayangnya umur yang tinggal sedikit membuat gadis itu jadi murung dan selalu menyepi. Leukimia dan kanker otak, dua penyakit yang telah merampas senyum manis dari bibir Reisya. Dan karena penyakit ini, Reisya yang ceria mulai menjadi murung. Andai dia masih memiliki kekuatan itu, dia pasti bisa menolong gadis yang dilindunginya ini. Sebagai peri pelindung, dia merasa gagal melaksanakan tugas yang merupakan kewajibannya.

          “Amora,” panggil Reisya pelan. Amora menoleh dan dilihatnya wajah sedih Reisya, “Aku meminta satu hal. Apa kau bisa mengabulkan permintaanku?” lanjut Reisya sendu. Amora mengangguk perlahan.

          “Apa yang kau minta?” tanya Amora. Dia mengepak-ngepakkan sayapnya mendekat. Reisya tersenyum, dan dengan tangannya yang lemah, dia menunjuk ke arah laki-laki misterius yang selalu dipandangnya.

           “Apa kau bisa menyampaikan salamku ke dia? Dan tanyakan ke dia, apa dia mengenal seorang gadis yang bernama Reisya Pradipta? Apa dia masih mengingat tentang diriku?” Amora menatap tak mengerti maksud kata-kata Reisya.

            “Kenapa tak kau sapa sendiri?” tanya Amora. Reisya tersenyum lemah. Dia menggelengkan kepalanya.

            “Tidak akan sempat, Amora. Aku merasa ajalku sudah cukup dekat. Aku ingin mengukir namanya dalam hatiku. Cintaku padanya tak akan hilang sampai kapanpun, Amora. Apa kau ingin mendengar ceritaku tentangnya?”

"Kapanpun akan selalu aku dengarkan,” kata Amora sambil tersenyum.

       Reisya termenung, mencoba mengumpulkan kenangan satu-persatu. Matanya menjadi teduh tatkala mengingat masa-masa itu. Dia menoleh dan tersenyum pada Amora.

            “Kau tak akan menduga, Amora. Laki-laki itu adalah cinta pertamaku. Arfian namanya. Sangat sempurna bukan? Dia sosok yang paling dikagumi di sekolah. Aku yang gadis biasa-biasa saja tak berani bermimpi menjadi kekasihnya. Sedikitpun tak pernah terfikir olehku. Sampai suatu hari Arfian menyatakan perasaannya kepadaku. Bisa kau bayangkan Amora. Aku yang gadis biasa diminta jadi kekasihnya. Ah, saat itu adalah saat yang paling indah bagiku. Kebahagiaan datang setiap hari. Arfian sangat menyayangiku. Tapi, aku tak pernah membayangkan dia meninggalkan aku begitu saja. Dia tak pernah memberitahu alasannya meninggalkanku. Dia pergi begitu saja tanpa penjelasan apapun. Sangat pahit rasanya. Hatiku terasa hancur. Aku hanya bisa menangis meratapi nasib. Mungkin ini sudah nasibku. Kebahagiaan selalu menjauh dan tak pernah mengendap selamanya dalam kehidupanku. Apa kau mengerti perasaanku, Amora?” Amora mencium pipi Reisya. Berharap bisa menghapus luka dalam hatinya. Reysa berusaha tersenyum, walau seperti dipaksakan.

          “Terima kasih, Amora. Tolong sampaikan padanya, kalau seorang gadis bernama Reisya Pradipta akan selalu mencintainya sampai kapanpun. Tak terbatas ruang dan waktu. Berjanjilah padaku, Amora,” pinta Reisya.

Tak ada yang bisa dilakukan Amora selain mengabulkan permintaan terakhir Reisya. Hanya inilah yang bisa dia lakukan. Reisya tersenyum senang. Rasanya semua beban dalam hatinya telah menghilang. Andaikan sang maut menjemputnya sekarang, dia rela. Dia tidak akan menyesal.
                                                                       ********
       Matahari menampakkan dirinya malu-malu. Hari yang cerah untuk memulai kegiatan. Amora menguap, dia merasa kantuk masih menyerangnya. Angin menerpa tubuh mungilnya, dia menggigil kedinginan. Amora sibuk berfikir, apakah musim sudah berganti musim dingin? Entahlah, itu tak ada urusannya dengan makhluk peri seperti dirinya. Tugasnya hanya satu, menjaga dan melindungi Reisya. Amora mengepak-ngepakkan sayap mungilnya dan terbang ke tempat tidur Reisya.

             “Reisya, sudah saatnya kau buka matamu. Lihatlah hari yang cerah ini, sangat menggoda mata kita untuk memandangnya,” kata Amora sembari menyibak selimut Reisya.

         Biasanya, Reisya paling benci ada orang yang menyingkap selimutnya sembarangan. Itu akan merusak mood ceria Reisya di pagi hari. Tapi kali ini Amora merasa heran. Reisya sama sekali tidak bergerak sekedar untuk menutupkan selimut ke tubuhnya. Bahkan suara gerutuannya tak terdengar sama sekali. Apa yang sebenarnya terjadi? Perlahan Amora mendekati hidung Reisya. Tak ada nafas yang keluar dari hidungnya sedikitpun. Amora tersentak dan mundur ke belakang. Dia memandang tubuh Reisya yang tak bernyawa lagi. Butir-butir air mata tak bisa dibendung lagi untuk keluar dari mata peri kecil itu.

        “Selamat tinggal, Reisya. Bagiku, kau adalah gadis yang sangat kuat dan tangguh. Aku akan selalu mengenangmu dalam ingatan. Pesan terakhirmu pasti akan aku sampaikan.” Amora mengucapkan kata-kata perpisahan dengan perasaan sedih. Di tangannya yang kecil terlipat sebuah surat untuk Arfian.
                                                            ******
         Hari pemakaman seorang gadis bernama Reisya Pradipta penuh dengan isakan tangis di mana-mana. Pemakaman di tengah-tengah guyuran hujan membuat suasana semakin duka. Nisan di atas tanah yang masih merah itu seolah-olah ingin menguatkan hati untuk selalu tersenyum. Ya, Reisya paling benci ada tangis dalam pemakamannya. Dia ingin semua merelakannya dengan ikhlas. Apalah artinya hidup kalau tak ada kematian. Apalah artinya memiliki kalau tak ada kehilangan. Reisya ingin semua orang mengenang dirinya dalam ingatan. Cukup dalam ingatan, dan tanpa airmata.

        Dalam pemakaman itu hadir seorang laki-laki yang selalu dipandangi Reisya diam-diam. Ya, laki-laki itu Arfian. Amora terbang merendah di dekat telinga sahabat Reisya, Imai.

             “Imai, aku bisa minta tolong?” tanya Amora pelan. Imai menoleh dan mengangguk.

             “Apa kau bisa berikan surat ini untuk seorang laki-laki yang ada di sana?” Amora menunjuk sosok laki-laki di barisan belakang. Imai mengernyit dan dia menemukan laki-laki yang dimaksud Amora.

             “Iya, aku bisa,” kata Imai. Amora bernafas lega. Diberikannya sepucuk surat berwarna biru laut itu ke tangan Imai.

       Imai menerimanya, dia segera menyelinap di antara barisan orang-orang yang melayat. Akhirnya dengan susah payah Imai sampai di hadapan Arfian. Tanpa berkata apapun Imai mengulurkan surat itu. Arfian mengernyit bingung. Ditatapnya surat itu dan Imai bergantian.

              “Bacalah! Kau akan mengerti sendiri.” Imai berkata dengan tenang. Arfian mengangguk.

        Imai meninggalkan Arfian sendirian. Dengan tergesa-gesa Arfian merobek amplop surat itu, dan segera dibacanya barisan kata-kata yang teruntai dalam surat itu.

“Dear, Arfian. Mungkin saat kau baca surat ini, aku sudah tak ada di dunia ini. Aku hanya ingin menyampaikan satu ucapan yang telah kubawa sampai mati. Aku cinta kamu, Arfian. Apa kau masih ingat aku? Seorang gadis bernama Reisya Pradipta, seorang yang biasa saja yang pernah jadi kekasihmu. Perlu kau tahu, sampai saat ini aku masih mencintaimu. Tapi maut kini memisahkan kita. Selama ini aku selalu memandangimu dari jendela kamarku. Walau tak bisa menyapamu, aku sudah cukup senang dengan melihat wajahmu setiap hari. Aku hanya minta satu hal, tolong jangan lupakan aku. Ingatlah tentang diriku dalam kenanganmu. Akan sangat menyakitkan bagiku, kalau kau melupakan diriku. Sekali lagi, aku cinta kamu, Arfian.'"
                                                                      Salam cinta dariku,
Reisya Pradipta

         Arfian menangis setelah membaca surat itu. Kesedihannya tak bisa dibendung lagi. Sungguh, dia sangat kehilangan sosok Reisya yang ceria. Dia menutup wajahnya dan menangis dalam diam.
        Ingatannya kembali ke masa lalu. Saat itu adalah saat terindah bagi dirinya juga bagi Reisya. Di mata Arfian, Reisya adalah sosok gadis yang sederhana, lembut dan tampil apa adanya. Arfian sangat mencintainya. Baru kali ini dia mencintai seorang gadis sampai sedalam ini. Tapi, nasib memang tidak bisa diduga. Orang tuanya meminta dirinya memutuskan jalinan kasihnya dengan Reisya. Dia dijodohkan dengan teman relasi bisnis papanya. Ingin Arfian menolak perjodohan itu, tapi mengingat penyakit jantung yang diderita papanya membuat nyali Arfian menciut. Dia tak akan memaafkan dirinya sendiri kalau terjadi sesuatu pada papanya karena penolakannya pada rencana perjodohan itu. Akhirnya dia memutuskan hubungannya dengan Reisya begitu saja tanpa penjelasan apapun. Arfian tak ingin melukai perasaan Reisya, dan satu hal lagi yang membuat dia tak sanggup memberitahu alasan dirinya mengakhiri jalinan kasih di antara mereka, Arfian masih mencintai Reisya. Dan perasaan itu tak akan hilang sampai kapanpun. Walau dia tak bisa memiliki Reisya sekalipun. Bukankah cinta tak harus memiliki?
         Dari kejauhan Amora memandanginya dengan tersenyum. Kemudian pandangan Amora beralih ke nisan Reisya.

              “Cintamu yang sangat besar telah sampai di hati Arfian, Reisya. Semoga kau merasa tenang di sana. Dan teruslah tersenyum seperti Reisya yang selama ini kukenal. Selamat jalan, Reisya,” bisik Amora pelan.

         Perlahan Amora mengepak-ngepakkan sayapnya yang mungil terbang ke udara. Dia harus kembali ke dunia peri, karena tugasnya sebagai peri pelindung Reisya telah selesai. Dia akan menunggu tugas menjadi peri pelindung untuk orang lain. Tapi bagi Amora, menjadi peri pelindung Reisya adalah hal yang sangat berkesan di hatinya. Sampai kapanpun kenangan akan seorang gadis bernama Reisya Pradipta tak akan hilang dari hatinya. Amora menatap makam Reisya yang semakin jauh dari pandangan matanya. Dia terbang ke atas, dengan berlinang airmata.

                                                                                        _TAMAT_

0 komentar:

Posting Komentar